PEMBERDAYAAN UMKM SEBAGAI OBJEK ATAU SUBJEK?

Masukan kepada Bapak Menteri Koperasi dan UKM terkait Rapat Terbatas Mengenai Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah pada Senin, 11 November 2019 di Kantor Presiden, Jakarta.

Pemberdayaan UMKM menjadi bahasan untuk pembukaan Rapat Terbatas (Ratas) Presiden Republik Indonesia. Cukup membahagiakan bahwa UMKM masuk dalam Rapat Terbatas (Ratas) Presiden, artinya UMKM semakin menjadi perhatian Bapak Presiden. Membuktikan bahwasannya UMKM Indonesia memang butuh perhatian lebih. Seperti catatan dari World Bank pada tahun 2005 Indonesia dengan fenomena “Missing Middle” nya. Fenomena ini kemudian memunculkan jargon dan gerakan UMKM Naik Kelas dimana Usaha Mikro dapat naik kelas menjadi Usaha Kecil dan seterusnya berjenjang dari Kecil ke Menengah dan Menengah ke Besar yang dilanjutkan dengan meluncurkan regulasi berupa UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM.

Berbagai program dan kegiatan bertebaran dengan tema UMKM naik kelas. Namun  program dan kegiatan tersebut ternyata belum memberikan dampak signifikan bagi perkembangan UMKM secara umum. Hal ini bisa terlihat dari data pertumbuhan UMKM selama 10 tahun belakangan ini yang ternyata masih jalan ditempat.

Dari data kemenkop UKM RI menyatakan bahwa, dari sisi jumlah pelaku UMKM selama 10 tahun terjadi peningkatan, dari 49 juta UMKM pada tahun 2006 menjadi  59,5 juta pada tahun 2017, berarti ada 1 juta lebih peningkatan UMKM per tahunnya. Bila dilihat dari prosentase jumlahnya dari selama 10 tahun masih berada pada angka 98%, hal ini dapat dimaknai bahwa selama 10 tahun belakangan UMKM masih terjebak dalam fenomena “Missing Middle” .

Selama ini UMKM Indonesia tidak disiapkan sejak awal untuk memiliki daya saing, baik dalam persaingan global maupun di pasar dalam negeri sendiri dalam menghadapi ASEAN Free Trade Area, sehingga produk UMKM Indonesia kalah bersaing dengan produk-produk Negara ASEAN yang masuk membanjiri gerai pasar retail modern.

Di kawasan ASEAN, negara pesaing Indonesia dalam hal UMKM adalah Malaysia, Vietnam, Thailand dan Filipina. Di negara-negara tersebut proses kurasi terhadap produk UMKM tidak dikenal karena seluruh produk di negara tersebut sudah di rancang untuk pasar global dengan standardisasi internasional dan berorientasi ekspor.

Langkah awal yang bisa kita mulai yaitu dengan penyamaan persepsi dalam pola pikir dan pola gerak dalam melakukan Perlindungan, Pemberdayaan, Pengembangan UMKM dan Pemasaran produk UMKM. Terkait dengan nomenklatur dan pengertian UMKM, sebagaimana amanat UU Nomor 20 Tahun 2008, dimana didalamnya diatur tentang :

  1. Pengertian atau definisi UMKM adalah usaha produktif (Pasal 1)
  2. Pemberdayaan (Pasal 4)
  3. Kriteria atau skala (Pasal 6)
  4. Iklim Usaha (Pasal 7)
  5. Pengembangan Usaha (Pasal 16)
  6. Pembiayaan dan Penjaminan (Pasal 21)
  7. Kemitraan (Pasal 25)
  8. Koordinasi dan Pengendalian (Pasal 38); dan
  9. Sanksi (Pasal 39)

Undang-undang ini baru memiliki petunjuk pelaksanaan 5 tahun setelahnya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2013 dimana pelaksanaan Pemberdayaan adalah Kementerian yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang UMKM yaitu Kementeriaan Negara Koperasi dan UKM RI. Sementara Kementerian Teknis dan Lembaga Pemerintah Non Kementerian adalah sebagai penanggung jawab Pengembangan UMKM.

Mengutip kembali apa yang disampaikan presiden RI pada Rapat Terbatas (Ratas) bahwa program pemberdayaan UMKM yang tersebar, tidak fokus, tidak terkoordinasi dan terkonsolidasi, kurang nendang, pengulangan program, target grup yang itu-itu saja, masih rutinitas, masih monoton, dan sering tidak sesuai dengan kebutuhan UMKM, bisa dapat dimengerti bahwa persepsi pelaksanaan Pemberdayaan terhadap UMKM sebenarnya hanya dilakukan oleh 1 (satu) Kementerian saja yaitu Kementeriaan Negara Koperasi dan UKM RI sesuai dengan amanat UU 20/2008 dan PP 17/2013. Sedangkan Kementerian Teknis dan Lembaga Pemerintah Non Kementerian memiliki tugas untuk Pengembangan.

Penyamaan Persepsi terhadap pengertian Pemberdayaan UMKM adalah Fasilitasi yang utuh dari hulu ke hilir yaitu pembinaan dan pengembangan, seperti pendataan; perizinan; pembiayaan; dan daya saing melalui perencanaan, pelaksanaan serta pemantauan dan pengendalian (Monev) secara terpadu. Sedangkan pengertian Pengembangan UMKM adalah pelaksanaan (eksekusi) teknis terkait dengan produksi dan pengolahan; pemasaran; sumber daya manusia; serta desain dan teknologi.

Catatan umum dari kebijakan dan pelaksanaan Pemberdayaan serta Pengembangan UMKM 1 dasawarsa kebelakang. Pertama, kebijakan cenderung hanya berkutat pada satu isu tertentu seperti keuangan/financial. Padahal pengembangan UMKM meliputi isu lainnya. Kedua, kebijakan bersifat “one size fits all policy” (pukul rata) tanpa memerhatikan variasi karakteristik atau tahapan UMKM. Ketiga, hampir tidak ada KPI (Key Performance Indeks) atau tolok ukur keberhasilan serta monitoring dan evaluasi kebijakan.

Adapun 3 catatan kebijakan pemerintah terkait pemberdayaan UMKM telah memenuhi kuorumnya pada penyampaian pembukaan Rapat Terbatas (Ratas) Pemberdayaan UMKM tersebut. Persoalan subsidi bunga untuk program KUR ternyata bukan subtansi, karena subsidi bunga tersebut tidak bisa dinikmati UMKM khususnya usaha mikro dan kecil. Hal ini disebabkan mekanisme penyaluran kredit melalui perbankan masih menganut metode kehati-hatian atau prudential,  sehingga usaha mikro dan kecil sulit untuk mengakses program tersebut secara langsung. Penyaluran program KUR melalui pihak ke 3 merubah pola peruntukan dari subsidi bunga kredit untuk produksi menjadi subsidi bunga kredit konsumsi. Sampai saat ini belum ada KPI atau laporan Monev terkait penyaluran subsidi bunga kredit perbankan dalam proram KUR.

Banyak faktor yang menyebabkan belum adanya KPI dan laporan Monev terhadap program pemberdayaan dan pengembangan UMKM selama 1 dasawarsa kebelakang. Faktor utama dan terpenting adalah belum adanya standardidasi UMKM, sehingga cukup sulit melakukan pendataan informasi dasar yang sama dan sejenis (standar) tentang UMKM tersebut.

Melakukan Standardisasi UMKM diperlukan sebuah kebijakan sebagai Petunjuk Teknis (Juknis) yang mengacu kepada PP 17/2013. Kebijakan tersebut dapat berupa Peraturan Presiden (Perpres) tentang Indeks Kinerja UMKM bagi Kementerian Teknis dan Lembaga Pemerintah Non Kementerian sebagai pelaksana pengembangan UMKM. Indeks Kinerja UMKM dapat didorong untuk masuk sebagai kriteria dalam formula dan perhitungan alokasi DAU dan DAK bagi Pemerintah Daerah. Sehingga informasi KPI serta Monev pelaksanaan program pemberdayaan dan pengembangan UMKM secara akurat dapat diperoleh.

Esensi dari sebuah bisnis/usaha adalah berlanjut serta tumbuh (sustainability + growth). Dalam mengelola bisnisnya, keberlanjutan usaha (sustainability) sering menjadi permasalahan bagi UMKM. Bisnis UMKM sering berumur pendek dan bergonta-ganti usahanya dalam periode singkat. Selain itu, pertumbuhan dari bisnis (growth) juga menjadi isu serius bagi UMKM. Pemilik usaha sering sudah merasa cukup puas dan/atau enggan keluar dari zona kenyamanannya. Situasi dan pemahaman ini dapat diantisipasi melalui pendampingan, bagi UMKM pendampingan bukan sekedar untuk bisa taat dan tepat dalam melaksanakan pencatatan keuangan. Dalam jasa konsultansi pendampingan dikenal dengan ragam atau pola seperti mentoring, coaching, training, clinic, consulting and gathering.

Melalui pendampingan dapat dilakukan sinergi dan integrasi pemangku kepentingan (stake holder) yang disebut quad helix, yaitu Pemerintah, Akademisi, Bisnis, dan Komunitas. Pendampingan memiliki banyak kemanfaatan. Manfaat paling strategis adalah dapat menjadi basis data pemberdayan dan pengembangan UMKM sebagai bahan baku melakukan standardisasi dalam menyusun indeks kinerja UMKM.

Dalam pencapaian Tujuan Besar Pemberdayaan dan Pengembangan UMKM 10 tahun kehadapan yaitu Menciptakan UMKM Berdaya Saing Global, Berstandarisasi Internasional & Berorientasi Ekspor, Program Pendampingan harus memiliki tolok ukur keberhasilan (KPI), panduan operasional baku (SOP), sistem pengendalian dan evaluasi (Monev), serta alokasi anggaran. Sehingga Pemberdayaan UMKM tidak lagi menempatkan UMKM sebagai objek atau hanya sekedar jargon demokrasi ekonomi atau politik etis ekonomi kerakyatan. 

REKOMENDASI

Dituliskan oleh Tengku Irham Kelana;
Wakil Ketua Umum Asosiasi BDS Indonesia (ABDSI)