MENGENAL RENIK USAHA MIKRO

oleh

CAHYADI JOKO SUKMONO
Ketua Umum DPN ABDSI


Sejak diundangkannnya UU 11/2020 tentang Cipta Kerja yang telah dicabut dan digantikan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomor 2 tahun 2022, yang juga telah dicabut dan digantikan dengan Undang-Undang nomor 6 tahun 2023 yang disahkan oleh DPR dalam Rapat Paripurna tanggal 31 Maret 2023, maka definisi dan klasifikasi Usaha Mikro Kecil dan Memengah telah berubah dari yang selama ini disandarkan pada UU 20 tahun 2008 tentang UMKM.

Perubahan ini tentu saja membawa dampak dalam pengembangan UMKM.

Latar belakang perubahan klasifikasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dari Undang-Undang No. 20 tahun 2008 menjadi Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 2021 adalah untuk meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan UMKM di Indonesia. Perubahan ini juga dilakukan untuk menyesuaikan dengan perkembangan ekonomi dan pasar yang semakin dinamis. Peraturan baru ini juga bertujuan untuk memperluas cakupan klasifikasi UMKM dan juga memberikan batasan yang lebih jelas untuk setiap kategori UMKM, sehingga memudahkan pengusaha untuk menentukan kategori usahanya dan memperoleh akses ke dukungan pemerintah. Dalam konteks pandemi COVID-19, perubahan klasifikasi UMKM juga menjadi penting untuk memberikan dukungan kepada pengusaha mikro yang terdampak pandemi, sehingga mereka dapat tetap bertahan dan berkontribusi pada pemulihan ekonomi nasional.

Saya ingin menyoroti dinamina database UMKM kita sebelum dan sesudah pengaturan klasifikasi baru ini. Jika kita lihat berdasarkan data 2019, bahwa sebelum definisi dan klasifikasi diubah jumlah UMKM kita sebanyak 64 juta yang mana 63 juta diantaranya adalah usaha mikro dengan omzet dibawah 300 juta pertahun. Sementara jika kita lihat data UMKM dari satudata milik Kemenkop UKM, secara keseluruhan jumlah UMKM kita meningkat menjadi 65,47 juta yang mana 64,6 jutanya adalah usaha mikro dengan klasifikasi terbaru yaitu usaha dengan omzet 2 Milyar ke bawah.

Apabila kita amati realitas piramida UMK kita ini, nampaknya dari 64,6 juta usaha klasifikasi mikro saat ini, bisa jadi 63 jutanya atau sektiar 97 % merupakan usaha mikro dengan omzet dibawah 300 juta sebagaimana klasifikasi sebelumnya. Artinya usaha dengan omzet 100 juta per tahun dan usaha dengan omzet 1.9 milyar per tahun memiliki kategori yang sama sebagai usaha mikro. Dan jika dalam kebijakan maupun program tidak melihat kategorisasi ini secara lebih merenik atau mendetail tidak akan menghasilkan program yang tepat sasaran.

Mereka yang berpendapatan 100 juta per tahun tentu memiliki perbedaan karakter, masalah dan kebutuhan dengan mereka yang memiliki pendapapatan 2 milyar per tahun.

Karena itu saya mengajukan pembagian usaha mikro secara lebih merenik agar dapat menjadi pertimbangan bagi semua pihak dalam menentukan kebijakan maupun program terkait pengembangan UMKM khususnya usaha mikro menjadi 4 kelompok, yaitu

1. Mikro Subsisten

Yaitu pelaku usaha dengan pendatapatan tahunan dibawah 250 juta atau dibawah 20 juta per bulan. Merek ini yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, sebagian dari mereka adakah penerima manfaat dari program penanggulangan kemiskinan.

2. Ultra Mikro

Yaitu pelaku usaha dengan pendapatan tahunan antara 250 juta sampai dengan dibawah 500 juta per tahun

3.Super Mikro

Yaitu pelaku usaha dengan pendapatan tahunan antara 500 juta sampai dengan dibawah 1 milyar per tahun

4. Grow Mikro

Yaitu Pelaku Usaha dengan pendapatan tahunan antara 1 miliar sampai dengan di bawah 2 miliar

Penyesuaian Kebijakan dan Program

Dengan mempertimbangkan 4 klasifikasi tersebut di atas, dalam pengalaman di lapangan, bagi seorang pelaku usaha mikro subsisten pertumbuhan penjualan adalah hal yang utama, bahkan mereka tidak harus menjalankan proses bisnis secara utuh. Tipe usaha ini sesungguhnya tidak harus memiliki brand atau kemasan sendiri, termasuk juga tidak terlalu butuh untuk onboarding dalam platform lokaniaga digital.