New Entrepreneur, Berbagai Jalan Pilihan Kewirausahaan

Oleh : Cahyadi Joko Sukmono

Euforia kewirausahaan yang menurut pengamatan saya dimulai awal 2000an dan memuncak antara 2005 – 2007 telah menghasilkan gelombang tsunami kewirausahaan yang masuk sampai kampus, sekolah, ibu rumah tangga, karyawan, bahkan juga PNS. Menjadi wirausaha sempat menjadi trend, ada yang beruntung ada juga yang kebablasen.

Apa yang terjadi dengan mereka setelah sekian waktu berjalan ?

Yang saya rasakan ada semacam momen purifikasi, seleksi alam dari entrepreneur kebablasen. Mereka yang tergulung tsunami kewirausahaan yang tidak (sempat) menemukan tujuan, pada akhirnya mulai rontok berguguran. Ada juga yang masih bertahan ada juga yang berkembang mengendarai gelombang perubahan (riding the wave) perubahan. Setidaknya ada beberapa kelompok yang bisa kita definisikan, yaitu,

Pertama, adalah kelompok BALIK KANAN.
Mereka ini adalah kelompok yang kapok berwirausaha karena berbagai hal, lebih banyak karena kesalahan sendiri utamanya wirausaha yang tidak dibangun berbasiskan mindset dan visi yang panjang serta pilar bisnis yang kuat. Diantara mereka mungkin lebih memilih untuk kembali ke jalur karyawan, bahkan ada yang saya kenal sekarang bekerja sebagai TKI di luar negeri.

Kedua adalah kelompok RESTARTER
Saya sering menyebut kelompok ini dengan tipe ” pengusaha Ctrl Alt Del ” yang memiliki ciri khas tidak pernah tuntas konsolidasi bisnisnya, lebih mudah tumbang, bangkrut, tutup dan kemudian beberapa waktu kemudian akan muncul dengan bisnis yang baru yang berbeda. Kesalahan utamanya adalah karakter greedy (serakah) over-confident (terlalu percaya diri dengan produknya) dan cenderung mudah terpengaruh dengan lingkungan yang membuat pengusaha tersebut tidak bisa fokus dalam mebangun 4 pilar bisnis (produk-pasar-uang-orang).

Ketiga adalah kelompok STAGNAN
Yang termasuk dalam kelompok ini masih lebih bagus daripada kelompok kedua, bisnis mereka masih eksis, masih berproduksi, masih ada penjualan meskipun dari ukuran valuasi bisnis dan investasi yang dikeluarkan sudah tidak menguntungkan. Sebagian mempertahankan untuk tidak menutup bisnisnya karena masih dibutuhkan dalam konteks sosial, brand masih dipertahankan, masih cetak kartu nama, meski sebetulnya bisnis sedang mati suri. Diantaranya mendapatkan penghasilan dari apapun yang bisa dikerjakan dalam jangka pendek di luar bisnisnya tersebut dengan jurus dewa mabuk.

Keempat adalah kelompok BERTUMBUH
Mereka belajar fokus pada saat memulai bisnis dan berani untuk presisten, on the track dalam mengembangkan bisnisnya. Buah dari presistensi ini adalah mereka menjadi semakin ahli dan memahami bagaimana cara terbaik untuk mengelola jenis bisnis tersebut. Seiring dengan pertumbuhan bisnisnya, semakin kompleks juga masalah yang dihadapi dalam bisnisnya. 

Kelima adalah kelompok CREATIVEPRENEUR
Mereka adalah kelompok wirausaha yang kreatif, mampu mempertahankan dan menumbuhkan bisnisnya sekaligus melipatgandakan hasilnya mengikuti perkembangan gelombang ekonomi kreatif. Potensi perkembangannya hampir tidak terbendung, karena kreativitas membuka ruang-ruang pengembangan yang lebih luas. Model bisnis mereka lebih fleksibel terhadap perubahan.

Dinamika di atas sependek pengamatan saya terjadi sampai dengan 2015. Dengan masifnya digitalisasi dan transformasi digital, maka berkembang pula karakter dan jenis wirausaha atau entrepreneur. Beberapa karakter berikut yang menjadi trend belakangan. 

Digitalpreneur, yaitu entrepreneur yang mengambil segmen pasar dan produk utama pada model bisnis yang berbasis teknologi digital dan internet. Tipe ini didominasi anak-anak muda generasi milenial yang memang lebih akrab dengan teknologi digital dan internet. Namun sebagaimana yang terjadi pada masa awal entrepreneurship, jenis ini berpotensi besar kebablasan. 

Tidak semua bisnis cocok untuk dijalankan berbasis online, begitupula tidak semua segmen pasar sudah melek internet. Sehingga digitalpreneur kebablasen semakin banyak ketika arus perubahan ini diterapkan dalam kebijakan pemerintah, namun belum tuntas dalam pemetaan. Seakan digitalisasi usaha itu selesai dengan memiliki toko online atau menjadi merchant di marketplace. 

Sehingga situasi ini memunculkan hybridpreneur, yang berusaha memperbaiki kebablasen digitalpreneur dengan mengkombinasikan pendekatan luring dan daring sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas. Yang menarik, inovasi hybridpreneur ini bertemu dengan jalur pemberdayaan ekonomi berbasis desa dan pertanian. Alhasil muncullah banyak aplikasi dan model bisnis hybrid akhir-akhir ini. 

Terakhir, yang sudah dan akan semakin berkembang dalam dunia kewirausahaan di Indonesia adalah SocialPreneur. Kebutuhan akan keseimbangan dalam tujuan ekonomi, sosial, dan lingkungan pada bisnis yang dijalankan. Bisnis bukan hanya sekedar keuntungan ekonomis semata. Ke depan akan semakin berkembang model-model green businesssocial business atau revolusi atas koperasi, dan juga arus besar bisnis berbasis kedermawanan. 

CAHYADI JOKO SUKMONO
Social Business Specialist
Ketua Umum DPN ABDSI
Komisaris Utama PT Forbiz Indonesia
Founder IBCF dan UMKM Nusantara